Reportase.today Jakarta, 7 Agustus 2025 — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggebrak dengan menangkap tangan Bupati Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, Abd Azis, dalam operasi senyap yang dilakukan pada Kamis, 7 Agustus 2025. Penangkapan ini dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, yang menyatakan bahwa proses pemeriksaan masih berlangsung, sehingga KPK belum dapat membeberkan detail lengkap mengenai konstruksi kasus maupun pihak-pihak lain yang terlibat.

Nama Abd Azis memang belum lama menghiasi panggung politik lokal. Ia baru dilantik sebagai Bupati Kolaka Timur pada 20 Februari 2025, menggantikan pejabat sebelumnya dalam pemilihan kepala daerah serentak. Namun baru enam bulan menjabat, ia kini harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena diduga kuat terlibat dalam tindak pidana korupsi. Yang mengejutkan, Abd Azis juga masih berstatus sebagai anggota aktif Kepolisian Republik Indonesia (Polri), serta dikenal sebagai kader dari Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Penangkapan ini tidak hanya mengguncang publik Kolaka Timur, tetapi juga memicu keprihatinan di tingkat nasional. Bagaimana mungkin seorang pejabat baru, berlatar belakang aparat hukum, dengan cepat tergelincir dalam jerat korupsi? Pertanyaan itu mengemuka di ruang-ruang publik, media sosial, dan kalangan pengamat politik serta hukum. Banyak yang menilai bahwa kasus ini menunjukkan adanya krisis integritas serius di kalangan pejabat publik, yang bahkan tidak mengenal batas waktu atau latar belakang profesi.
Meski KPK belum mengumumkan secara resmi modus korupsi yang menjerat Abd Azis, sejumlah dugaan mengarah pada penyalahgunaan anggaran daerah atau pengaturan proyek pemerintah yang sarat kepentingan pribadi dan kelompok. Jika terbukti, ini menambah panjang daftar kepala daerah yang gagal menjaga amanah rakyat dan justru menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri.
OTT terhadap Abd Azis menjadi catatan penting dalam perjalanan KPK di tahun 2025. Dalam enam bulan terakhir, lembaga antirasuah itu tercatat hanya melakukan dua kali operasi tangkap tangan, yang dinilai sejumlah pihak sebagai penurunan signifikan dari performa sebelumnya. Hal ini pun menimbulkan pertanyaan publik: apakah KPK masih tajam atau mulai tumpul pasca revisi Undang-Undang KPK yang kontroversial itu?
Namun, kasus ini juga bisa dibaca sebagai upaya KPK untuk membuktikan bahwa mereka belum menyerah. Penindakan terhadap pejabat aktif di daerah, apalagi dengan latar belakang Polri, bukan langkah kecil. Ini menunjukkan bahwa KPK masih punya keberanian untuk menyentuh kekuasaan, meski dengan segala keterbatasan yang kini dihadapi.
Di sisi lain, kasus ini menggarisbawahi pentingnya pengawasan ketat terhadap pejabat publik, terutama di level daerah. Kepala daerah memiliki kewenangan besar atas anggaran dan kebijakan, sehingga ketika integritasnya rapuh, potensi penyalahgunaan sangat besar. Sistem seleksi dan pengawasan perlu diperkuat, tidak cukup hanya mengandalkan background institusional atau afiliasi politik.
Saat ini, masyarakat masih menanti langkah KPK selanjutnya. Berdasarkan aturan, KPK memiliki waktu 1×24 jam sejak penangkapan untuk menentukan status hukum pihak yang diamankan. Jika cukup bukti, maka Abd Azis berpotensi ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani proses hukum lebih lanjut.

Lebih dari sekadar kasus perorangan, penangkapan ini menjadi refleksi dari kondisi birokrasi dan politik lokal yang belum steril dari praktik korupsi. Masyarakat berharap agar kejadian ini menjadi pelajaran sekaligus momentum untuk memperkuat integritas dan akuntabilitas pemerintahan, serta mengingatkan seluruh pejabat publik bahwa jabatan adalah amanah, bukan ladang untuk memperkaya diri.
(Redaksi – Tim Jurnalis Biro Sitijenar Group Multimedia)













