Pesta Infrastruktur dan Ritual Setoran: Korupsi Jasa Konstruksi yang Terus Direproduksi Secara Massal Di Negara Kita Ini

Editor

Reportase.today Situbondo Sabtu 13 Desember 2025: Setiap akhir tahun anggaran, ruang publik kembali dijejali jargon pembangunan. Spanduk proyek berdiri berderet, alat berat bekerja siang-malam, dan pejabat berlomba menampilkan wajah paling progresif di hadapan kamera. Musim proyek telah tiba—baik yang bersumber dari APBN maupun APBD—dan tenggat akhir 2025 menjelma menjadi mantra sakral yang membenarkan segala bentuk percepatan.

Namun sejarah panjang tata kelola pembangunan di negeri ini mengajarkan satu hal: percepatan sering kali berbanding lurus dengan pengaburan. Di balik narasi “demi rakyat”, terdapat praktik yang nyaris tak pernah berubah—korupsi jasa konstruksi yang bekerja rapi, berulang, dan diwariskan lintas rezim.

Korupsi di sektor konstruksi bukan sekadar penyimpangan individu, melainkan hasil dari relasi kuasa yang timpang. Ia dimulai sejak tahap perencanaan: pengaturan tender, pembocoran HPS, spesifikasi teknis yang sengaja dilonggarkan, hingga pemenang yang telah ditentukan sebelum kompetisi benar-benar dimulai. Pada tahap pelaksanaan, kualitas material dikorbankan, volume dikurangi, laporan kemajuan dimanipulasi, dan pekerjaan di luar kontrak dipaksakan menjadi sah secara administratif.

Seluruh rangkaian itu bermuara pada satu tujuan: memastikan adanya ruang “bagi hasil” dari anggaran negara. Inilah titik di mana proyek publik berubah fungsi—dari instrumen pelayanan menjadi mesin ekstraksi rente.

Di tingkat daerah, praktik ini menemukan bentuknya yang paling telanjang. Hubungan antara rekanan dan kepala daerah kerap dibangun bukan di atas profesionalisme, melainkan pada komitmen transaksional. Istilah “komitmen fee” menjadi kosakata informal yang dipahami bersama, meski selalu diingkari dalam pidato resmi. Ia bekerja seperti kontrak tak tertulis, namun ditaati lebih ketat daripada dokumen negara.

Fenomena ini menjelaskan mengapa bantahan pejabat sering terdengar hampa. Sebab yang dihadapi publik bukan sekadar individu yang rakus, melainkan sistem yang memberi insentif pada perilaku koruptif. Kekuasaan yang terpusat, pengawasan yang lemah, serta kultur loyalitas personal menciptakan ekosistem di mana korupsi dianggap risiko jabatan, bukan kejahatan moral.

Baca juga
Eko Febrianto Warning Bupati Situbondo Soal Proyek APBD dan Rotasi Pejabat

Ketika pengawasan keuangan diperketat dan sistem perbankan makin transparan, praktik korupsi pun beradaptasi. Bukan berhenti, melainkan bermetamorfosis. Pola penghindaran hukum menjadi bagian dari “pengetahuan praktis” yang ditransmisikan secara informal. Inilah ironi terbesar birokrasi kita: kecanggihan manajerial digunakan bukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, melainkan untuk memperpanjang usia kejahatan.

Dalam banyak kasus yang terbongkar, terlihat jelas bahwa korupsi tak pernah berdiri sendiri. Ia membutuhkan perantara, jejaring kepercayaan, dan ruang-ruang abu-abu yang memungkinkan transaksi berlangsung tanpa sentuhan institusi formal. Di titik ini, korupsi bukan lagi tindakan sembunyi-sembunyi, melainkan ritual kekuasaan yang dijalankan dengan disiplin tinggi.

Namun sejarah penegakan hukum juga konsisten menunjukkan sisi lain: tak ada skema yang sepenuhnya kebal. Selalu ada celah yang luput, selalu ada momen lalai, dan selalu ada jejak yang tertinggal. Dari situlah satu per satu kasus besar terbuka—menyeret kepala daerah, orang kepercayaan, hingga kerabat dekat. Aset disita, jabatan runtuh, dan reputasi publik terkubur bersama pembelaan moral yang terlambat.

Ironisnya, setiap penangkapan seolah hanya memutus satu rantai, bukan menghancurkan mesin. Sistem terus memproduksi pelaku baru, sementara publik dipaksa puas dengan tontonan penindakan tanpa pembenahan struktur. Korupsi diperlakukan sebagai anomali, padahal ia telah menjadi bagian dari cara kerja kekuasaan itu sendiri.

Di titik inilah optimisme publik sering runtuh. Peringatan Hari Anti Korupsi datang dan pergi, penuh slogan dan seremoni, namun miskin refleksi struktural. Tanpa keberanian membongkar relasi antara kekuasaan politik, anggaran, dan kepentingan ekonomi, peringatan itu berisiko menjadi ritual simbolik—lebih mirip upacara penghiburan daripada komitmen perubahan.

Meski demikian, harapan tidak boleh sepenuhnya padam. Kritik harus terus disuarakan, bukan sebagai sikap pesimis, melainkan sebagai upaya menjaga akal sehat publik. Anggaran negara bukan milik pejabat, bukan pula milik rekanan, melainkan amanah rakyat yang seharusnya kembali kepada rakyat dalam bentuk layanan dan keselamatan.

Baca juga
Khofifah Diperiksa KPK di Mapolda Jatim Siang Ini, Terkait Suap Hibah Pokmas
Keterangan fhoto: Eko Febriyanto Ketua Umum LSM SITI JENAR

Sebab pada akhirnya, pertanyaan paling mendasar bagi para pemegang kuasa bukanlah bagaimana menghindari jerat hukum, melainkan apakah mereka masih ingat untuk siapa kekuasaan itu diberikan.

Penulis: Eko Febrianto

Ketua Umum LSM SITI JENAR

(Red/Tim-Biro Siti Jenar Group Multimedia)

error: Content is protected !!