SITUBONDO, Reportase.today– Menjelang pemilihan kepala daerah atau Pilkada, suasana politik mulai memanas. Ketegangan, harapan, dan janji-janji manis dari para calon pemimpin bertebaran di mana-mana. Coba saja lihat di setiap sudut kota, di sana sini ada baliho besar kecil yang menampilkan wajah-wajah calon pemimpin, lengkap dengan slogan yang dijanjikan bisa mengubah masa depan. Setiap kandidat berlomba-lomba menarik perhatian kita, para pemilih, dengan program unggulan dan visi-misi yang dijanjikan akan membawa kemajuan. Tapi, di balik gemerlap kampanye, ada satu pertanyaan penting yang sebaiknya kita renungkan: sejauh mana janji-janji ini benar-benar menjadi kenyataan?
Setiap kali Pilkada, kita disuguhi janji-janji perubahan yang sering terdengar indah, seakan-akan semua masalah akan selesai begitu pemimpin baru terpilih. Mereka bicara soal perbaikan infrastruktur, peningkatan layanan publik, hingga pemberdayaan ekonomi yang katanya akan mengubah hidup kita semua. Bagi petahana, ada slogan “LANJUTKAN!” yang berusaha mengajak pemilih percaya bahwa program yang belum selesai pasti akan berlanjut. Di sisi lain, calon penantang datang dengan slogan yang tak kalah kuat, seperti “PATENNANG, PAMENNANG!” yang seolah ingin menegaskan bahwa mereka adalah pilihan yang lebih tegas dan berani membawa perubahan nyata. Janji-janji ini sering kali memukau, tetapi sayangnya, sering kali juga hanya jadi angin lalu begitu masa pemilihan selesai.
Realita sering kali menampar kita dengan keras. Setelah pemimpin terpilih dan masa kampanye usai, kita masih mendapati jalan berlubang yang tak kunjung diperbaiki, layanan kesehatan yang sulit diakses, atau program-program sosial yang hanya tinggal janji. Bukannya tanpa alasan, para pemimpin yang gagal memenuhi janjinya biasanya berkilah dengan alasan-alasan klasik seperti keterbatasan anggaran, birokrasi yang berbelit, atau intervensi politik. Namun, sebagai warga yang ikut memilih, bukankah kita berhak meminta lebih dari sekadar janji?
Selain itu, ada masalah lain yang kerap muncul setiap kali Pilkada tiba: polarisasi sosial. Pertarungan politik ini bukan hanya soal program dan visi-misi, tetapi juga sering berubah menjadi pertarungan identitas. Pendukung satu calon bisa terpecah belah dan bersitegang dengan pendukung calon lain, yang akhirnya malah merusak harmoni sosial di tengah masyarakat. Masyarakat yang dulunya rukun bisa terpecah karena perbedaan pilihan politik, dan ketegangan ini sering kali berlangsung lama bahkan setelah Pilkada usai.
Di sinilah, sebagai pemilih, kita punya peran yang sangat penting. Kita perlu lebih kritis dan bijaksana dalam menilai calon-calon pemimpin. Jangan mudah terbuai oleh janji-janji manis. Sebaliknya, cobalah mencari tahu rekam jejak para calon, bagaimana mereka mengelola anggaran, program apa saja yang sudah berhasil mereka jalankan sebelumnya, dan apakah mereka benar-benar bisa dipercaya. Transparansi dan integritas adalah dua hal yang harus kita perhatikan agar kita tidak terjebak dalam romantisme politik yang hanya manis di permukaan.
Peran kita sebagai pemilih bukan hanya saat di bilik suara. Setelah Pilkada usai dan pemimpin baru terpilih, kita punya hak dan kewajiban untuk mengawasi mereka. Jangan ragu untuk menuntut kejelasan terkait realisasi janji-janji yang mereka lontarkan saat kampanye. Kita bisa memanfaatkan media sosial untuk menyuarakan kritik dan memberikan masukan, atau bergabung dengan forum-forum warga yang mendiskusikan kebijakan pemerintah daerah. Platform digital sekarang ini bisa jadi alat yang efektif untuk mengawasi kinerja para pemimpin yang telah kita pilih.
Pada akhirnya, di tengah hiruk-pikuk Pilkada ini, kita perlu menyadari bahwa janji politik adalah dua sisi koin: ada janji yang menawan, tetapi ada pula realita yang kadang sulit dipenuhi. Sebagai pemilih, mari kita pegang prinsip kritis dan penuh tanggung jawab. Dengan sikap yang cerdas dan partisipatif, kita bisa berharap menemukan pemimpin yang bukan hanya pandai berjanji, tetapi juga mampu mewujudkan perubahan nyata bagi masyarakat.
Mari kita jadikan Pilkada ini bukan sekadar ajang bagi para calon untuk memperebutkan kursi kekuasaan, tetapi juga sebagai momen bagi kita untuk memanggil kembali esensi demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat, bukan sekadar menjadi arena bagi retorika politik yang kosong. Pilihan kita adalah kekuatan untuk mendorong perubahan, pastikan suara kita tidak hanya sebagai legitimasi, tetapi juga sebagai dorongan nyata untuk masa depan yang lebih baik.
(*/Santre Malem)