Reportase.today Situbondo, Jawa Timur Selasa 26 Agustus 2025: Kobaran api yang melalap Perkiraan puluhan hektar hutan jati di Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, pada Selasa dini hari, 26 Agustus 2025, kembali menyadarkan publik pada rapuhnya sistem pengawasan hutan di Situbondo.
Lokasi Kebakaran Hutan kali ini Tepatnya terjadi di Petak 44 RPH Kendit BKPH Panarukan / Belakang Gudang Bulog Di Desa Klatakan Kecamatan Kendit Kabupaten Situbondo
Peristiwa kebakaran yang terjadi sekitar pukul 02.00 WIB Malam ini menegaskan bahwa bencana kebakaran hutan di daerah ini bukanlah kejadian insidental, melainkan siklus tahunan yang tak pernah mendapat solusi.

Api terlihat jelas membakar bagian atas bukit di belakang Gudang Bulog Klatakan. Dalam hitungan jam, si jago merah meluas akibat ilalang kering yang mudah tersulut. Sayangnya, pada saat kobaran api membesar, tidak terlihat penanganan cepat dari aparat terkait. Warga dan pengguna jalan pantura justru menjadi saksi pertama yang panik menyaksikan hutan berubah menjadi lautan api.
Kebakaran hutan di Situbondo bukanlah fenomena baru. Catatan publik menunjukkan pola berulang hampir setiap musim kemarau:
Tahun 2018: Ratusan hektar kawasan Taman Nasional Baluran terbakar hebat, menyebabkan rusaknya habitat satwa liar langka.
Tahun 2021: Kebakaran melanda hutan lindung di wilayah Besuki, puluhan hektar pohon jati hangus, dan penyebabnya tidak pernah diungkap secara jelas.
Tahun 2023: Peristiwa serupa terjadi di Asembagus, di mana hutan jati Perhutani terbakar, menimbulkan kerugian ekologi besar dan keresahan masyarakat.
Tahun 2025 (kini): Kebakaran Klatakan mengulang cerita lama — api meluas, warga panik, aparat lamban, penyebab tetap misterius.
Pola ini menunjukkan bahwa kebakaran bukan hanya soal cuaca kemarau panjang, melainkan ada persoalan serius dalam pengawasan dan penanganan.
Sebagai pengelola hutan negara, Perhutani memiliki mandat untuk melakukan patroli rutin dan mencegah kebakaran. Namun, peristiwa di Klatakan kembali memperlihatkan lemahnya kontrol lapangan. Sementara itu, Satgas Kebakaran Hutan dan Lahan BPBD Situbondo dinilai selalu terlambat merespons.
“Setiap tahun kebakaran terjadi, tapi hasil investigasi nol. Tidak ada tindak lanjut, tidak ada penegakan hukum. Lalu untuk apa ada Perhutani dan Satgas kalau hanya menunggu hutan habis?” tegas seorang aktivis lingkungan yang diwawancarai tim Siti Jenar News Group.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada rilis resmi dari kedua lembaga tersebut. Ketiadaan transparansi ini memperkuat kesan publik bahwa kasus kebakaran hutan di Situbondo dibiarkan berlalu tanpa tanggung jawab yang jelas.

Kebakaran hutan bukan hanya menelan pepohonan jati yang bernilai ekonomi tinggi, tetapi juga merusak ekosistem, memaksa satwa liar kehilangan habitat, serta mengganggu kualitas udara. Selain itu, risiko jangka panjang berupa banjir bandang dan longsor semakin besar karena berkurangnya tutupan vegetasi di kawasan perbukitan.
Di sisi sosial, warga sekitar hidup dalam kecemasan. Setiap kali musim kemarau tiba, mereka khawatir kobaran api kembali mengancam rumah dan lahan pertanian mereka.
Kasus kebakaran Klatakan harus menjadi titik balik. Publik mendesak agar Perhutani dan Satgas BPBD Situbondo tidak hanya hadir dengan pernyataan formalitas, tetapi melakukan reformasi pengawasan dan penanganan. Transparansi investigasi, penegakan hukum terhadap pihak yang lalai maupun sengaja, serta kesiapsiagaan teknologi pemantauan kebakaran menjadi kebutuhan mendesak.

Tanpa langkah konkret, Situbondo akan terus menjadi panggung kebakaran tahunan yang merusak lingkungan dan menggerus kepercayaan publik terhadap institusi negara.
(Redaksi/Tim Investigasi Siti Jenar Group Multimedia Situbondo, Jatim)