SITUBONDO – HRM Khalilur R Abdullah Sahlawiy, sosok yang akrab disapa Ji Lilur, tengah menapaki babak baru dalam kiprah panjangnya di dunia perikanan. Jika sebelumnya ia dikenal sebagai pengusaha budidaya ikan laut bernilai tinggi, kini ia bersiap menjelajahi samudra luas: sektor perikanan tangkap yang selama ini ia jauhi.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Perubahan sikap Ji Lilur lahir dari pertemuan berkesan dengan seorang pengusaha perikanan berdarah Melayu, Vietnam, Tionghoa, dan India di jantung Kota Singapura. Dalam obrolan panjang penuh makna di Ginger Lily Café, lantai lima Hilton Singapore Orchard, paradigma Ji Lilur terhadap perikanan tangkap berubah total.
Awalnya, Ji Lilur memusatkan seluruh energi dan sumber dayanya untuk membangun sistem budidaya laut—mulai dari pemasangan keramba, pengaturan ekosistem laut, hingga pemilihan spesies ikan dengan nilai jual tinggi seperti lobster, kerapu, dan ikan sunu. Ia bahkan secara tegas menolak terlibat dalam perikanan tangkap, karena kekhawatiran terhadap dampaknya terhadap lingkungan.
Namun, perspektif itu bergeser ketika sang pengusaha Singapura berbagi kisah tentang usahanya yang sukses mengelola perikanan budidaya di Bali sekaligus menjalankan armada perikanan tangkap dari Bali hingga Batam. Yang menarik, kedua sektor ini ia jalankan secara sinergis dan berkelanjutan.
“Mendengarkan cerita itu, saya semakin bangga menjadi bagian dari Indonesia,” ujar Ji Lilur. Ia terkesima oleh kenyataan bahwa produk perikanan Indonesia mampu mengisi pasar dunia—dari meja makan rumah tangga di Amerika hingga restoran mewah di Asia dan Eropa.
Sang pengusaha tidak hanya berbagi cerita, tapi juga membuka peluang nyata. Ia menawarkan kemitraan bisnis kepada Ji Lilur: dari ekspor lobster, kepiting bakau, hingga berbagai jenis ikan laut, baik hasil budidaya maupun tangkap. Ia juga menunjukkan bahwa praktik perikanan tangkap tidak selalu identik dengan perusakan ekosistem laut jika dilakukan dengan prinsip berkelanjutan.
“Mas Lilur, budidaya itu penting untuk ketahanan dan kontrol kualitas. Tapi perikanan tangkap juga bisa ramah lingkungan, asal dikelola dengan bijak,” ungkapnya, sembari mengajak Ji Lilur berkunjung langsung ke lokasi budidayanya di Bali. Bahkan, ia tengah mempersiapkan IPO (Initial Public Offering) perusahaannya di Bursa Singapura dan berharap bisa menggandeng Ji Lilur sebagai mitra strategis.
Pertemuan dua jam tersebut menghasilkan satu keputusan besar. Ji Lilur sepakat untuk melakukan kunjungan lapangan ke Bali pada pertengahan Agustus—usai lawatannya ke Afrika dan kepulangan sang pengusaha dari Belanda. Keduanya telah menyatakan komitmen kerja sama, khususnya dalam pengembangan ekspor hasil perikanan tangkap.
“Di Singapura kemarin sore, saya mengambil keputusan penting: memulai ekspor perikanan tangkap,” tegas Ji Lilur. Dengan semboyan DABATUKA BISMILLAH, ia optimistis Bandar Laut Dunia Grup (BALAD Grup) yang dipimpinnya akan menjadikan Indonesia pusat gravitasi bisnis perikanan global—dikelola oleh putra negeri sendiri, untuk kemaslahatan seluruh rakyat.
Menutup kisah transformasinya, Ji Lilur menggaungkan pesan yang telah menjadi prinsip hidupnya: “Salam Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Langkah baru ini menandai bukan sekadar ekspansi bisnis, melainkan lompatan visi. Ji Lilur kini tak hanya mengelola keramba di teluk, tapi telah menatap luasnya samudra Indonesia—dengan tekad menjaga keberlanjutan, sekaligus menaklukkan pasar dunia.