Reportase.today Sumenep, Sabtu 7 September 2025 – Persoalan hukum yang melibatkan seorang perempuan berinisial SNA dan suaminya, SI, terus berkembang menjadi polemik yang lebih kompleks. Setelah kasus dugaan perzinahan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mencuat ke publik, kini perhatian masyarakat beralih pada cara kuasa hukum SNA, Sulaisi Abdurrazaq, menyikapi pemberitaan media terkait kasus tersebut.
Bukan melalui hak jawab atau mekanisme Dewan Pers sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Sulaisi justru menyerang balik pemberitaan media DetikOne melalui saluran media yang diduga berada di bawah jaringan kelompoknya. Tudingan keras serta pernyataan bernada tajam yang dilontarkannya dinilai sejumlah kalangan bukan sebagai bentuk klarifikasi, melainkan upaya intimidasi.
“Kalau ada keberatan terhadap isi berita, caranya jelas: gunakan hak jawab, ajukan koreksi, atau laporkan ke Dewan Pers. Menyerang media secara terbuka hanya menimbulkan kesan ingin membungkam,” kata seorang pemerhati media di Sumenep, saat dikonfirmasi oleh awak media.
Tindakan Sulaisi tersebut pun memunculkan tanda tanya besar mengenai etika profesi advokat. Publik kini pun mempertanyakan mengapa seorang kuasa hukum yang semestinya mengedepankan jalur hukum justru menempuh langkah konfrontatif dengan media. Menurut sejumlah analis, langkah ini tidak sejalan dengan prinsip profesionalitas seorang advokat yang seharusnya menjadi teladan dalam menyelesaikan sengketa secara elegan.
Dari penelusuran tim investigasi, serangan verbal Sulaisi di beberapa forum publik dan media jaringan internalnya dinilai semakin memperkeruh suasana. Alih-alih memperjelas duduk perkara, langkah itu justru dianggap memperlebar polemik dan memunculkan persepsi negatif di mata publik.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak DetikOne belum memberikan pernyataan resmi terkait tuduhan intimidasi tersebut. Namun, dinamika yang terjadi diperkirakan akan terus mendapat perhatian luas, mengingat menyangkut relasi antara advokat, media, dan kepentingan publik.
Menanggapi isu yang berkembang, Sulaisi Abdurrazaq ketika dikonfirmasi tim investigasi melalui sambungan WhatsApp, memberikan klarifikasi yang cukup berbeda. Ia menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak memiliki niat untuk menekan ataupun menyudutkan media. Menurutnya, opini yang berkembang selama ini muncul sebelum ia diberikan ruang untuk menggunakan hak jawab maupun hak koreksi.
“Pihak DetikOne sempat menghubungi saya melalui telepon dan menyampaikan permintaan maaf setelah berita tersebut tayang. Bahkan setelah saya melayangkan somasi, mereka sempat mengakui ada kekeliruan informasi sehingga menghasilkan pemberitaan yang tidak tepat. Permintaan maaf itu sudah mereka sampaikan. Jadi pertanyaannya, intimidasi seperti apa yang dimaksud?” ujar Sulaisi.
Ia juga menambahkan bahwa sebagai penasihat hukum, tindakannya murni untuk melindungi kepentingan kliennya yang dirugikan oleh pemberitaan yang tidak akurat. “Saya tidak pernah berniat menyudutkan pihak mana pun. Pekerjaan saya adalah memastikan hak-hak klien saya terpenuhi. Apalagi pihak media sendiri sudah mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Jadi tuduhan intimidasi itu tidak berdasar,” tegasnya.

Polemik antara kuasa hukum dan media ini kini menjadi bahan diskusi publik. Sebagian menilai sikap keras Sulaisi merupakan bentuk pembelaan yang berlebihan, sementara sebagian lain melihatnya sebagai konsekuensi dari lemahnya mekanisme penyelesaian sengketa pemberitaan yang seharusnya ditempuh secara formal. Yang jelas, isu ini kembali mengingatkan kita bahwa pentingnya keseimbangan antara hak advokat dalam membela klien dan kebebasan pers sebagai pilar ke empat demokrasi.
(Red/Tim)