Reportase.today Situbondo Minggu 4 Mei 2025: Kajian Hukum dan Edukasi tentang penggunaan dan pemanfaatan kawsan hutan oleh: Eko Febriyanto Ketua Umum LSM Situbondo Investigasi Jejak Kebenaran (Siti Jenar)
Pendahuluan:
Perlindungan kawasan hutan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks hukum nasional, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah lama menjadi dasar larangan terhadap tindakan penguasaan, pengolahan, maupun pemanfaatan kawasan hutan secara tidak sah. Namun, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, terjadi dinamika hukum yang cukup mengejutkan: sejumlah ketentuan larangan dan pidana dalam UU Kehutanan dinyatakan tidak berlaku tanpa digantikan oleh norma baru yang serupa.
Inilah yang menjadi titik fokus kajian ini: ketiadaan norma baru yang secara eksplisit melarang dan mengatur sanksi terhadap penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan secara tidak sah. Hal ini berpotensi membuka ruang abu-abu hukum, melemahkan upaya penegakan hukum, serta menciptakan dampak ekonomi dan ekologis yang serius.
I. Dasar Hukum dan Perubahan Regulasi.
Adapun beberapa peraturan utama yang menjadi acuan dalam kajian ini antara lain:
1. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
2. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
3. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. PP No. 72 Tahun 2010 tentang Perum Kehutanan Negara.
5. Permen LHK No. 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
Dalam UU Kehutanan Pasal 50 ayat (3) huruf a, setiap orang dilarang mengerjakan kawasan hutan secara tidak sah. Larangan ini sebelumnya diperkuat dengan sanksi pidana berat dalam Pasal 78 ayat (2). Namun, Pasal 112 huruf a dan b UU No. 18 Tahun 2013 mencabut pasal-pasal tersebut tanpa menambahkan norma larangan yang baru terhadap tindakan serupa.
II. Kekosongan Norma dan Ketimpangan Penafsiran.
Ketiadaan pasal pengganti tersebut menciptakan situasi yang membingungkan bagi aparat dan masyarakat. Aktivitas seperti membuka jalan di kawasan hutan, memperbaiki akses logistik, atau pemanfaatan lahan eksisting yang sebelumnya bisa dikategorikan sebagai “penggunaan kawasan hutan ilegal”, kini tidak lagi memiliki dasar sanksi yang kuat secara langsung.
Sebagai contoh, penggunaan akses jalan hutan untuk distribusi logistik oleh masyarakat sering dianggap sebagai pelanggaran dan wajib memperoleh izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Padahal, dalam Permen LHK No. 7 Tahun 2021 Pasal 384 ayat (2) huruf h), disebutkan bahwa peningkatan jalan untuk sarana pengangkutan hasil produksi bukanlah kategori penggunaan kawasan yang memerlukan izin khusus, selama tidak termasuk pelebaran atau pembuatan jalan baru.
Sayangnya, ketidaktahuan atau kekakuan birokrasi dalam menafsirkan aturan ini membuat banyak kegiatan legal terhambat, bahkan distigma sebagai ilegal. Hal ini menghambat potensi pendapatan negara, menimbulkan konflik sosial, dan menyulitkan koordinasi antar pihak pengelola hutan seperti Perum Perhutani.
III. Pemanfaatan Kawasan Hutan: Mekanisme Hukum yang Sah
Sebenarnya, hukum menyediakan ruang legal bagi pemanfaatan kawasan hutan melalui skema kerja sama. Dalam UU Kehutanan dan aturan turunannya, pemanfaatan kawasan dapat mencakup:
Pemanfaatan kawasan untuk kegiatan produktif.
Pemanfaatan jasa lingkungan.
Pengambilan hasil hutan kayu dan non-kayu.
Mekanisme kerja sama ini bisa dilakukan antara Perum Perhutani dengan masyarakat atau investor dalam bentuk perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban, termasuk kontribusi kepada negara. Dengan demikian, kegiatan di dalam kawasan hutan tidak harus dianggap sebagai pelanggaran, selama dibingkai dalam kerja sama yang legal.
Namun demikian, praktiknya justru sebaliknya. Proses pembuatan perjanjian kerja sama sering kali berbelit, terpusat di level direksi, dan lamban, sehingga unit di lapangan (KPH) tidak memiliki kewenangan langsung. Akibatnya, masyarakat dan pelaku usaha yang sudah siap secara teknis dan administratif terhambat tanpa kejelasan hukum, bahkan dipersekusi oleh aparat dengan dalih “penggunaan ilegal”.
IV. Potensi Kerugian Negara dan Perum Perhutani:
Ketidakefisienan regulasi ini juga berdampak langsung terhadap pendapatan negara dan kinerja Perum Perhutani. Padahal, jika kegiatan produktif di kawasan hutan bisa difasilitasi melalui kerja sama yang sah, maka:
Negara akan mendapat PNBP dari kontribusi kerja sama.
Perum Perhutani mendapat nilai tambah ekonomi.
Masyarakat memiliki akses legal untuk mengelola hutan secara berkelanjutan.
Jika dibiarkan, kegiatan di lapangan tetap berjalan tanpa legalitas, dan inilah yang sesungguhnya berpotensi merugikan negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor: perbuatan memperkaya diri atau pihak lain yang merugikan keuangan negara akibat penyalahgunaan wewenang.
V. Rekomendasi: Perlu Kebijakan yang Tepat dan Akseleratif:
Dalam rangka mengatasi situasi tersebut, kami dari LSM Situbondo Investigasi Jejak Kebenaran merekomendasikan:
1. Adanya revisi UU No. 18 Tahun 2013 untuk mengisi kekosongan larangan hukum yang ditinggalkan oleh UU Kehutanan.
2. Delegasi kewenangan pembuatan kerja sama ke tingkat KPH, agar tidak terjadi bottleneck administratif.
3. Peningkatan edukasi hukum bagi masyarakat dan pejabat kehutanan terhadap perbedaan makna “penggunaan” dan “pemanfaatan” kawasan hutan.
4. Penguatan kerja sama produktif dan legal, guna mengoptimalkan potensi ekonomi hutan negara tanpa mengorbankan aspek konservasi dan hukum.
Penutup:
Kajian ini menekankan pentingnya sinergi antara hukum, birokrasi, dan logika ekonomi dalam pengelolaan hutan negara. Regulasi kehutanan tidak boleh hanya menjadi alat pelarangan, tetapi juga harus memberi arah, ruang, dan kejelasan hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Jika tidak, maka celah hukum seperti saat ini justru akan menciptakan konflik, pembiaran, dan potensi kerugian negara yang lebih besar.
Ditulis oleh:
Eko Febriyanto
Ketua Umum LSM Siti Jenar dan Direktur PT Siti Jenar Group Multimedia
Situbondo, 5 Oktober 2024
(Redaksi: Tim Biro Pusat Sitijenarnews Group)